Selamat datang kembali dear readers. Di kesempatan kali ini gue ingin berbagi lagi tentang pengalaman gue selama bergelut di dunia koas. Seperti yang tertulis di judul posting kali ini yaitu "Tangisan Pasien", gue akan menyinggung beberapa hal yang gue dapatkan selama gue bertemu dengan pasien di bangsal. Jadi mari kita mulai langsung ke pembahasan cerita!
Sekarang gue sudah memasuki tahun kedua dalam dunia perkoasan. Baca sekali lagi, perkoasan bukan perkosaan. Beda, tapi selama koas energi rasanya juga diperkosa perlahan-lahan. Saat ini gue sedang berada di stase ilmu penyakit dalam di mana para pasiennya tentu saja menderita... penyakit dalam. Biasanya kalau di stase-stase besar seperti ini, kita sebagai koas diharuskan untuk melakukan yang namanya follow-up pasien di bangsal. Apa yang kita lakukan sih di follow-up itu? Jadi kita di sini sebagai koas melihat bagaimana perkembangan pasien selama di rawat di rumah sakit. Kita catat keluhannya hari ini apa, bagaimana hasil laboratorium terbarunya, apa rencana terapi yang dikasih hari ini, dan lain sebagainya. Follow-up pasien ini sebenernya bukanlah sebuah beban masalah, KALAU pasiennya sedikit. Sekarang yang menjadi masalah adalah ketika dokter spesialisnya bilang dia akan visit pagi-pagi, ditambah lagi doi habis jaga malam (on-call) yang notabene pasiennya akan bejibun. Ini adalah cobaan koas nomor satu. Alhasil follow-up tidak selesai, terus kena semprot dokternya. Iya disemprotin air cuka. Selama gue koas, jumlah pasien bangsal yang perlu gue follow-up (mulai tulisan berikutnya gue akan singkat fol-up, capek tau nulisnya) paling banyak adalah 20 kepala. Total waktu yang gue perlukan untuk melakukan fol-up tersebut adalah dari jam 04.30 pagi sampai jam 11.00 siang. Kebetulan waktu itu gue lagi stase saraf di mana pemeriksaan yang harus dilakukan itu banyak banget, ditambah lagi gue emang kalau fol-up lama. Nah, kenapa gue kalo fol-up itu cenderung lama? Di sini gue mau berbagi.
Jadi, kenapa sih gue ini kalau fol-up pasien lama? Ya, gue ini tipe yang sangat sungkan buat memotong pembicaraan orang. Alhasil, ketika pasien udah ngalor-ngidul ke mana-mana ngomongnya, gue tetap hanya mendengarkan dia mengoceh. Apalagi kalau pasien udah mulai curhat ini curhat itu, gue bisa mendengarkan ceritanya sampai 1 jam non-stop. Rekor gue adalah saat gue stase saraf, gue sukses mendengarkan curhatan pasien selama 2 jam. Tapi ternyata, gak sedikit pasien yang seneng kalau kita mau mendengarkan mereka cerita. Berdasarkan pengamatan gue, tidak mungkin dokter spesialis akan punya waktu selonggar koas-koas gabut buat dengerin curhatan pasien. Makanya, salah satu hal yang gue lakukan sebagai koas adalah gue berusaha menjadi pendengar yang baik buat pasien-pasien ini. Salah satu pengalaman paling legendaris gue adalah saat gue di stase saraf, lagi-lagi stase saraf. Jadi saat itu gue sedang jaga malam di bangsal, dan gue sedang melakukan rutinitas fol-up gue seperti biasa. Waktu itu pasien jumlahnya kira-kira ada 10 yang perlu gue temuin dan pelajari. Habis itu, gak terlalu banyak juga pasien yang hobi curhat sehingga gue gak perlu terlalu lama fol-up. Setelah sampai ke pasien yang terakhir, di sinilah gue kena jackpot. Seorang ibu-ibu dengan keluhan nyeri di pinggang belakang sampe ga bisa jalan. Awalnya dia cerita seperti biasa. Saya sakit ini, sakit itu, sakit anu. Sampe akhirnya dia mulai cerita ke hal-hal lain kayak masalah keluarganya, masalah ini, masalah itu, di luar hal yang mampu gue tangani. Selama sang ibu bercerita, gue hanya bisa menanggapi dengan iya-iya, karena gue tahu pengalaman hidup gue yang masih cetek ini bisa apa sih buat nasehatin si ibu yang pengalaman hidupnya pasti lebih banyak dari gue. Sampai suatu titik, gue menjadi terdiam karena si ibu mulai nangis. Dia ngomong kurang-lebih kayak gini isinya, "Walaupun sakit-sakitan seperti ini, saya tetap berusaha untuk bersyukur. Hidup bukan ditangan kita, tapi ditangan Tuhan. Tuhan memberikan kita sakit, harus kita jalani dengan sabar. Tetap bersyukur, berdoa, mohon dikuatkan." Terus lama-lama dia mulai menasehati gue dengan berbagai pesan-pesan kehidupan yang membuat gue juga jadi gimana ya. You know that feeling right? Akhirnya gue terus mendengarkan dia bercerita sampai kurang-lebih 3 jam. Dan di deket-deket akhir yang bikin gue semakin terdiam, dia bilang ke gue terima kasih banyak udah mau dengerin dia cerita. Dia bahkan bilang akan selalu mendoakan gue dan keluarga gue di dalam doanya. Ya ampun bu, saya cuma dengerin cerita ibu aja. Kebayang ga sih? Ternyata sebesar itu dampak kita dengerin seorang pasien cerita terhadap pasien itu sendiri. Dan percaya ga percaya, besoknya ini pasien kondisinya jauh lebih baik. Ya ini sih jelas karena efek obatnya yang masuk, tapi gue yakin pikiran si ibu yang lebih lega ngasih efek paling enggak 0,1% terhadap kesembuhan dia. Tapi setelah gue baca-baca ternyata emang ada hubungannya bagaimana pikiran kita itu bisa mempengaruhi tubuh kita. Jadi kalau kita berpikir negatif, ga bisa sembuh, ya badan ngikutin tuh. Tapi, kalau misalnya kita berpikiran positif, yakin bisa sembuh, badan kita juga kayak kedorong buat sembuh. Coba aja cari jurnalnya, udah banyak kok.
Dari sini gue belajar bahwa komunikasi adalah bagian yang penting dari dunia kedokteran ini. Sebenernya gak cuma di dunia kedokteran, tapi di manapun, di pekerjaan apapun, kapanpun, komunikasi is number one. Banyak pasien yang kadang suka ngeluh, karena dokternya kurang ada waktu buat dengerin dia, bahkan ada yang merasa dijutekin, gak didengerin, ngerasa dokternya ga peduli, dan lain-lain. Gue yakin di balik itu pasti semua dokter punya style atau ada hal-hal yang menjadi alasan. Atau bisa juga pasiennya yang baper sih. Tapi pada intinya bagaimana kita bisa membawa diri kita saat ketemu pasien itu sangat penting sekali pake ditambah banget. Dokter panutan gue pernah ngomong ke gue gini, "Kalau kita periksa dan mendengarkan keluhan pasien dengan baik, 70% pasien bisa sembuh, karena kebanyakan masalah pasien itu ada di pikirannya."
Bahkan dokter spesialis panutan gue yang satu ini berkata dengan jelas berdasarkan pengalaman, evidence-based. Dari sini gue belajar untuk menjadi pendengar yang lebih baik. Gak cuman di dunia perkoasan (bukan perkosaan), tapi di dalam sehari-hari gue juga. Prinsip hidup gue satu lagi yang mantap adalah "perlakukan orang lain, seperti memperlakukan diri sendiri". Gue tau betapa leganya ketika gue bercerita, dan orang lain bisa mendengarkan cerita gue. Gak perlu ngasih saran atau tanggapan. Cukup dengerin aja, leganya udah kayak abis nahan BAB 7 bulan. Karena itu gue juga belajar untuk mendengarkan cerita orang lain, karena gue yakin mereka juga pasti lega dengan kita mendengarkan cerita mereka. Oh, mungkin gue perlu meralat kata-kata mendengarkan, dengan yang lebih baik lagi yaitu MEMPERHATIKAN. Karena keliatan bedanya ketika kita itu cuma sekedar mendengar, dengan kita memperhatikan. INGAT! MEMPERHATIKAN! Mendengarkan itu cuma butuh telinga, tapi dengan MEMPERHATIKAN, kita gak cuma bermodal telinga, tapi kita fokus dan pikiran kita itu bener-bener memproses apa yang orang lain katakan. Kalian gamau kan kalo punya pacar, pas kalian curhat, doi dengerin, tapi pikirannya ke cowok lain :(
Gesture juga mempengaruhi merupakan bagian dari memperhatikan. Sekarang bayangin ada orang cerita ke kalian bener-bener, mata kalian ke mana, kakinya ongkang-ongkang ke atas meja, tangannya ngupil. Kalo gue sih, gue sambit pake clurit tumpul itu orang. Jadi sewajarnya aja ketika ada orang lagi bercerita, kalian harusnya ngapain sih? Fokus-lah ke orang yang lagi cerita itu. Ya gue gak perlu jelasin caranya gimana, I'm sure u all know how to do that. Kalo cuma sekedar pengen didengerin, ngobrol aja ama kucing. Saat lu sekedar mendengarkan doang, ya lu 11-12 juga ama kucing. Saat lu bisa memperhatikan, di situlah perbedaan manusia dengan makhluk hidup yang lain. Sebenernya lebih enak pakai bahasa Inggris, HEARING VS LISTENING.
Jadi, udah siap bikin orang lain nangis?
"The art of conversation lies in listening"
- Malcom Forbes -
No comments:
Post a Comment