Selamat pagi, siang, sore, atau malam para readers sekalian. Setelah 4 tahun melakukan vakum dari kegiatan menulis, akhirnya gue memutuskan untuk kembali melanjutkan blog ini. Salah satu penyebabnya adalah karena gue baru saja melihat salah satu teman gue yang ternyata masih hobi nge-blog juga. Akhirnya gue terinspirasi kembali untuk menulis hal-hal masa kini yang sering kita gumulkan dalam kehidupan sehari-hari. Di tulisan-tulisan gue sebelumnya mungkin gue lebih banyak memberikan bumbu-bumbu humor dan gak serius, tapi kali ini gue akan mencoba untuk memberikaan sesuatu yang lebih bermanfaat (mudah-mudahan) untuk para pembaca sekalian. Mungkin ini efek pertambahan usia, sehingga gue sekarang menjadi lebih bijak, suka baca koran, dan nonton berita. Tapi tetap main Mobile Legend. So, mari kita mulai ke topik kita kali ini "Ekspektasi vs Realita".
Jadi selama gue koas, banyak hal yang gue dapatkan dan pelajari. Gak cuma sekedar ilmu-ilmu kedokteran, tapi lebih terutama yang gue coba dapatkan adalah ilmu-ilmu dalam menghadapi dunia yang carut-marut ini. EKSPEKTASI-nya adalah saat kita terjun ke dunia sebenarnya, semua orang bersahabat, damai, tidak ada tikung-menikung, tidak ada senggol-bacok, dan sebagainya. REALITA-nya, gak disenggol aja udah dibacok. Bener gak sih?
Mari kita tinjau dari definisinya terlebih dahulu. Apa sih ekspektasi? Menurut KBBI, ekspektasi adalah suatu pengharapan. Sedangkan, realita adalah sebuah kenyataan. Kita langsung menuju ke contoh konkrit. Kita belajar setengah mati buat ujian, 24 jam non-stop. EKSPEKTASI-nya dapat nilai bagus. REALITA-nya berhubung fungsi kognitif juga pas-pasan ya dapet seadanya. Apalagi belajarnya H-1, gue aja belajar H-berminggu-minggu tetep ancur. Contoh lain, kita mau pergi ke Jakarta dari Tangerang, berangkat jam 7 pagi. EKSPEKTASI-nya sampe jam 8 pagi. REALITA-nya sampe jam 8 pagi..., besoknya. Contoh lain lagi yang lebih mantep, kita udah PDKT setaun. EKSPEKTASI-nya jadian. REALITA-nya jadian..., sama orang lain :(
Gimana? Ternyata terkadang memiliki suatu ekspektasi itu malah membawa kita kepada suatu perasaan yang terlalu menggebu-gebu yang nantinya rentan banget buat jatuh saat realitanya berkata lain. Memang gak salah buat kita berekspektasi, tapi yang ingin gue ingatkan adalah kita tidak boleh berekspektasi BERLEBIHAN. Ingat, ekspektasi boleh, tapi jangan berlebihan. Gimana sih contoh ekspektasi yang tidak melanggar hukum tata negara? Sekarang coba kita masuk ke dalam situasi di atas tadi. Kita mau pergi ke Kelapa Gading dari Karawaci di hari Senin yang notabene adalah salah satu hari paling rame, terus kita milih jalan lewat tol Tomang di jam 7 pagi, terus kalian baru aja baca berita bahwa ada kecelakan di kilometer 14. Sekarang kalian harus sampe ke Kelapa Gading jam 8 pagi karena mau ada rapat kerjaan (gila pikiran gue udah tua banget..., rapat kerjaan jir). Mau lu naik Ferrari pake mesin pesawat Boeing 777, kalo namanya kena macet ya lu kaga bisa maju. Terus kalian berharap waktu telat dateng rapat, keterlambatan kalian akan dimaklumi, dipuiji-puji, disambut dengan tarian tradisional, tumpeng, sama organ tunggal, sedangkan posisi kalian masih jongos. Itulah yang kita sebut sebagai EKSPEKTASI BERLEBIHAN.
Mungkin contoh di atas terlalu ekstrem, nah tapi pada intinya gue ingin menceritakan bahwa ada batas-batas yang perlu kita berikan di dalam ekspektasi kita. Terkadang ada faktor-faktor yang kita tidak ketahui yang bisa mempengaruhi hasil akhir. Dan yang lebih penting dan perlu diperhatikan, dan DISADARI, adalah ada faktor-faktor yang sebenernya kita tahu ada, tapi kita berusaha ABAIKAN. Langsung gue kasih contoh biar jelas. Biar gampang, kita pakai contoh kasus perjalanan Karawaci-Kelapa Gading lagi, karena ini adalah salah satu momen di mana gue sering berekspektasi. Sekarang gue berangkat di hari Sabtu which is biasanya sepi, berangkatnya jam 06.30. Gue ada acara jam 09.00, dan ekspektasi gue, gue bisa tiba di Kelapa Gading jam 8-an. Ternyata di perjalanan, entah kenapa terjadi kemacetan yang tidak biasa, udah gitu gak sengaja mobil gue diserempet mobil orang, dan ternyata ada penutupan jalan. Ini adalah contoh faktor-faktor yang tidak bisa diduga, sehingga wajar akhirnya realita berlawanan dengan ekspektasi. Sekarang yang keterlaluan adalah kalau udah tau ada faktor A, B, C, tapi ekspektasinya masih kayak ngarep dikelonin sama Chelsea Islan. Kali ini gue gunakan contoh lain. Hmmm, misalnya kalian udah tahu 1 minggu lagi ujian akhir. Nah selama menuju ujian itu, kalian masih ada presentasi, masih ada PR segudang, masih ada rapat organisasi, masih harus revisi, terus kalian gak nyicil belajar, belajar H-1, dan ber-EKSPEKTASI bisa lolos ujian dengan mudah. Pikir sendiri-lah.
Realita memang hampir selalu ga seindah ekspektasi, tapi bukan berarti kita gak boleh berekspektasi. Tanpa ekspektasi, rasanya pasti hidup kita ada yang kurang. Kalian kalo PDKT ga ada goal-nya, terus buat apa? Kira-kira kayak begitu. Emang kalo contohnya pake urusan PDKT ama pacaran selalu lebih gampang :(
Ekspektasi yang tidak seindah realita malah terkadang mengajarkan kita untuk lebih bijak dalam menghadapi masalah sehari-hari. Kita belajar untuk lebih memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dan cara mengatasinya. Kita juga belajar untuk lebih bersiap-siap dalam menghadapi hal-hal yang muncul secara tiba-tiba. Terlebih lagi di dalam berekspektasi, kita seharusnya mengerti di mana-kah posisi kita. Misalnya, saat kalian PDKT terus kalian berharap cewek/cowok yang kalian punya rasa juga terhadap kalian. Kalian berharap cewek/cowok itu yang harus selalu memulai chat duluan, membuka topik duluan, dan lain-lain. Terus kalian rasanya udah panas aja kalo cewek/cowok itu deket sama orang lain. Ketahuilah posisi kalian, kalian tuh siapanya mereka? Emang secara teori sih gampang gue ngomong, secara praktek, ini kayak melawan natur manusia. Tapi that is life.
Selam koas ini, gue mempelajari satu hal yang penting. Kunci hidup bahagia.
JANGAN BEREKSPEKTASI LEBIH
Yup, jangan berekspektasi lebih. Ketika kita berekspektasi lebih, dan dikecewakan, secara otomatis kita akan merasa emosi jiwa, entah marah, sedih, kesel, anything, yang membuat tingkat kebahagiaan hidup kita menurun sesaat. Terlebih lagi kalau kita berekspektasi terhadap sesuatu yang seharusnya tidak bisa kita ekspektasi. Contoh, kalian taruhan balap kuda sama kuda yang kakinya cuma 2. Kalian berharap bisa pulang pagi, sama dokter yang mulai poli baru malem (cuma koas yang paham). Kalian berharap bisa kerjasama, tapi sama orang yang egois. Sampe akhirnya itu kuda bisa menang, itu ngikut dokter kalian bisa pulang pagi, itu akhirnya bisa kerjasama sama orang egois, hitunglah sebagai BONUS! Dengan begitu, kalian gak akan merasa down.
Mungkin kalian akan berkata kayak, alah ini mah teori doang, emang lu bisa kek gini, dan lain-lain. Tapi inilah yang saat ini gue sedang berusaha terapkan di dalam kehidupan gue sehari-hari, dan seriously cukup berhasil untuk menghadapi orang-orang dengan karakter tertentu, di mana akhirnya gue gak jadi bohwat, karena gue udah tau batasan-batasan ekspektasi gue. Ya meskipun begitu masih ada celah-celah yang gue suka gagal menerapkan hal ini, apalagi kalo udah masalah cewek. Seperti pepatah mengatakan "cinta itu buta". Makanya kalo udah cinta, sering-sering kontrol ke dokter mata.
Mungkin sekian untuk sharing gue kali ini. Di topik-topik berikutnya gue akan membahas permasalahan lain yang sering gue hadapi juga. Di sini gue gak mencoba untuk menggurui, tapi hanya ingin berbagi aja, siapa tau dengan mengikuti cara gue, kalian bisa lebih enjoy. So, thanks for reading!
"My expectations were reduced to zero when I was 21. Everything since then has been a bonus."
- Stephen Hawking -
No comments:
Post a Comment